Tak lelo lelo lelo ledung, cep meneng ojo pijer nangis
Suara itu terus terngiang di telingaku, bercampur deru peluru yang seolah berada di samping telingaku, begitu keras, menunjukkan pasukan militer Belanda sudah semakin dekat. Saat itu, tanggal 24 Januari 1949 rombongan Jenderal Sudirman atau yang kerap dipanggil Kiai Lelonobronto sampai di Desa Jambu dan akan meneruskan perjalanan menuju Warungbung. Tandu dibuat, pemanggul disiapkan malam itu juga karena esok pagi kami harus sudah berangkat ke tempat lain.
Tak lelo lelo lelo ledung, cep meneng ojo pijer nangis anakku sing ayu rupane, yen nangis ndak ilang ayune.
Lagu itu semakin menjadi di telingaku, suara merdu terdengar jelas, terbayang seorang wanita hamil sedang mengelus rambut anak perempuan yang menangis karena iri pada bayi di dalam perut ibunya.
“Jo! Tolong ambilkan kain penutup tandu.” perintah rekan yang lebih tua dariku.
“Jo!” serunya lagi.
“Jo! Kamu ini sedang mikir apa?” bentak dia sambil memukul pundakku.
“Opo si mas? Seneng banget ngantemi aku.” protesku tak terima.
“Kamu ini sedang mikir apa?”
“Istriku, Mas.”
“Wis ora usah dipikir maning, kamu sedang menjalankan tugas negara, lebih penting dari apapun.” ucapnya sambil mengambil kain penutup tandu.
Dari awal berangkat gerilya, kami memang sudah di wanti-wanti agar tidak berlarut-larut dalam kerinduan pada keluarga. Namun, rasanya kali ini aku tak kuat lagi, suara merdu itu terus saja ada di telingaku. Aku meraba saku celana lusuh yang sudah kupakai lima hari, teringat di sana ada selembar foto wanita yang kurindukan, sengaja kubawa untuk menambah semangat perjuangan.
Tak gadang biso urip mulyo, dadiyo wanito utomo.
Foto itu seakan bernyanyi di depanku, sangat dekat, lekat dengan harapan pada anak perempuan kami agar bisa menjadi wanita utama bagi bangsanya.
“Dek, semoga tetap dalam lindungan Allah SWT.” gumamku.
“Aamiiin.” sahut beberapa rekanku yang mendengar doaku, tentu saja ‘amin’ itu diiringi dengan tawa.
Tandu selesai dibuat. Tepat setelah salat isya, rombongan kami berangkat. Tempat singgah kami dengan posisi pasukan Belanda hanya berjarak 1,5 km sehingga kami harus bergegas. Setiap langkah selalu kuiringi doa dan asmaul husna, mengharap pertolongan Allah SWT selalu ada untuk negeri ini, negeri yang kata Panglima Besar masih bayi.
“Londo! Londo! Londo!” teriak seorang pria dari kejauhan.
“Bicara yang jelas!” seru Panglima.
“Pasukan Belanda semakin dekat, Panglima. Di pertigaan sana.” terang seorang relawan sambil menunjuk persimpangan hutan di sebelah kanan kami.
Jenderal Soedirman memerintahkan satu orang tentara dan satu orang relawan untuk memeriksa ke pertigaan yang dimaksud tadi. Tanpa pikir panjang, dua orang prajurit berangkat dengan membawa senjata masing-masing. Rombongan pun melanjutkan perjalanan dan akan berhenti di Desa Gunungtukul untuk bertemu dua orang prajurit tadi. Namun, belum ada 1 km kami berjalan, suara tembakan yang sangat keras memekakkan telinga, aku dan seorang prajurit meminta izin untuk menyusul ke arah tembakan.
“Gugur, Panglima.” laporku.
“Siapa?” tanya Jenderal Soedirman.
“Kirman, relawan yang kemarin mencuri ubi untuk makan rombongan, Panglima.”
“Innalillahi, sudah dikuburkan dengan layak?”
“Sudah, Panglima.”
“Lanjutkan perjalanan.”
Kami pun melanjutkan perjalanan. Ini yang selalu aku takutkan, menang atau mati, kami dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa dipilh, semua prajurit pasti memilih menang, tapi itu bukanlah pilihan, itu hanya keinginan, kami tak ada pilihan lain selain tawakal kepada Allah ketika berhadapan dengan penjajah. Mati, itu kemungkinan yang sangat besar, dan mau tidak mau kami harus siap memilihnya.
Ngluhurake asmane wong tuwo, dadiyo pandekare bongso.
Kidung itu terus mengalun lembut di telingaku. Semangatku berapi-api, aku tak boleh mati dalam perang ini. Sesulit apapun, aku harus bertahan, mempertahankan nyawa dan negara.
“Dek, suamimu masih hidup, jangan hentikan kidung itu.” gumamku sambil memegang saku tempat aku menyimpan foto istriku.
Setelah matahari terbit, tanda-tanda pasukan Belanda sudah tak ada lagi, kamipun beristirahat di sungai yang kebetulan dekat dengan jalan yang kami lewati. Aku duduk di batu yang ada di tengah sungai sambil membersihkan sepatu dan pakaianku. Aku termasuk prajurit termuda di pasukan ini, tak heran aku sering diperintah dan dijadikan bahan tertawaan. Namun, inilah nilai yang paling penting, kebersamaan.
“Hey, siapa namamu?” tanya atasanku.
“Siap Parjo!” jawabku.
“Ngapain kamu disini?”
“Siap bergerilya.”
“Punya anak berapa kamu?”
“Siap jika diberi keselamatan, saya akan memiliki dua anak, Komandan.”
“Kamu rindu sama keluargamu?”
“Siap…….” aku tak kuasa berbicara.
“Siap apa?”
“Siap rindu.”
“Bagus, saya juga rindu keluarga saya, jangan sampai kita mati disini.”
“Siap.”
Aku tersadar, tidak hanya aku yang tersiksa ditikam rindu, semua prajurit pasti merasakan hal yang sama. Yang harus kami lakukan sekarang adalah berjuang untuk negara, jika negara aman pasti rakyat juga aman.
Minggu berikutnya pesawat tempur Belanda terbang semakin rendah, kondisi rakyat semakin terancam. Suara tembakan sudah seperti suara demonstrasi di jalan raya. Bom dijatuhkan dimana-mana. Termasuk di tempat yang paling kurindukan, di tempat yang selalu kudoakan keutuhannya.
“Parjo!” panggil rekanku terenga-engah.
“Opo, Mas?” tanyaku cemas.
“Umahmu.”
“Umahku piye, Mas.”
“Mati, Jo.” bicaranya semakin tidak jelas.
“Rumah mati? Apa maksudnya?”
“Rumah dibom, mati.”
“Mas, ojo macem-macem.”
“Tenanan, Jo.”
Wis cep menengo anakku, kae bulane ndadari. Koyo buto nggegilani lagi nggoleki cah nangis.
Dek, aku ini lelaki tangguh katamu, aku tempat bersandarmu. Tapi dek, yang aku tahu hari ini, aku lebih lemah darimu, tak ada yang bisa kujadikan sandaran. Dek, walaupun bulane ndadari, aku tetap tidak bisa berhenti menangis, segala keindahan yang kupandang saat ini seakan muram. Dek, jangan pergi, Kangmas mohon.
Tak lelo lelo lelo ledung, cep meneng anakku cah ayu. Tak emban slendang batik kawung. Yen nangis mundak ibu bingung.
Aku kehilangan kidung merdu itu, senyuman menenangkan, pelukan menghangatkan, aku kehilangan semuanya. Hal yang selama ini aku pikirkan adalah kematianku, tak pernah terbayang bahwa aku yang akan ditinggal disini, sendiri.
“Parjo!” panggil Jenderal Soedirman saat melihatku menangis mendengar kabar buruk itu.
“Siap, Panglima.”
“Kau prajurit! Prioritasmu negara! Kita menang, Parjo! Londo-londo itu akan enyah dari bumi pertiwi ini nanti pada suatu masa. Entah kapan.”
“Siap, Panglima.” jawabku gagah.
Indonesia merdeka, terbebas dari neraka. Tanah negeri ini bersih dari para penjajah serakah. Tentu, banyak pengorbanan di balik itu semua. Termasuk keluarga, dan Panglima Besarku, Jenderal Soedirman.
Hari ini, tepat setelah kematianmu. Sudah tak ada lagi londo-londo itu, Panglima. Apalagi londo ireng yang hanya mengincar uang dan mengorbankan negerinya. Hari ini paginya berisik dengan kicauan burung dan ayam jantan, Panglima. Bukan berisik peluru atau granat di setiap penjuru Indonesia. Hari ini tak ada lagi ketakutan akan adanya pesawat yang terbang rendah, Panglima. Yang tersisa hanya kerinduan kami pada Kiai Lelonobronto dan para prajuritnya. Hari ini tak perlu lagi gerilya, Panglima. Karena bayi mungilmu sudah lama merdeka dan dewasa.
Penulis: Anisa Puspita Rini (XII IPA 3)
Editor: Mufid Rizal S