Suara bising kendaran mulai meramaikan suasana pagi ini. Sebagian besar dari mereka memiliki tujuan yang sama. Kemudian memadati halaman parkir di sebuah gedung megah bak hotel bintang lima. Tempat itu sudah berumur puluhan tahun, mungkin sekarang sekitar 37 tahun.
Tempat inilah yang menjadi tujuanku setiap pagi, aku tidak pernah merasa kecewa. Meski tempat ini bukan pilihanku tetapi setidaknya aku selalu merasa ini yang terbaik bagiku. Buktinya sekarang aku disini, melangkah menyusuri parkiran dalam yang sudah hampir penuh dengan motor siswa kelas 11 atau 12.
“Pagi Aresa.” sapa Karin, anak kelas 11 MIPA 5 yang kebetulan kenal denganku.
“Hai Rin, pagi juga.” Aku membalas nya dengan tersenyum ramah.
Aku melanjutkan langkahku menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai kelas paling pojok. Kelas yang menampung 36 orang murid termasuk diriku. Baru saja melangkah masuk, suara heboh Dira hampir saja memecahkan gendang telingaku.
“Resaaaaa….” teriak Dira begitu melihatku memasuki kelas. Memang menyebalkan, ini masih pagi dan dia sudah teriak-teriak seperti orang kerasukan.
“Iya, kenapa? Ngga usah teriak bisa?” Aku menyahut sambil meletakan tasku diatas kursi.
“Engga bisa! Aku sebel, percuma peduli sama orang lain tapi orang lain ngga mau peduli sama aku. Padahal udah dibela-belain, udah ditolongin, udah dingertiin, tapi ternyata nusuk dari belakang. Nyebelin koh, ngga suka! Kenapa ngga ilang aja si itu orang! Aaa benci…” oceh Dira panjang lebar dengan nada kesal.
Aku hanya memandanginya, sudah berapa kali dia bercerita seperti ini padaku. Biar ku hitung, kemarin lusa dan minggu lalu ditambah hari ini berarti sudah tiga kali.
“Iya terus gimana? Coba cerita yang tenang, jangan histeris dulu.” pada akhirnya aku kembali mendengarkan untuk sekedar membuatnya lebih baik. Waktu pagi itu akhirnya kugunakan untuk menjadi seorang pendengan, menampung keluh kesah seseorang yang selama ini menjadi temanku. Aku tidak keberatan dengan itu dan aku malah bersyukur dengan apa yang bisa aku lakukan.
Waktu sudah berlalu, Dira terlihat lebih baik dari pagi tadi. Sekarang kami sedang ada di kantin sekolah untuk mengisi energi kami dengan semangkok mie ayam dan segelas es teh. Padahal kami sangat jarang makan di kantin, hari ini pun karena Dira dan Karin yang memaksa ingin makan di kantin. Akhirnya aku menuruti mereka dan disinilah kami, di kantin yang cukup ramai oleh para siswa yang sudah kelaparan sebab tenaga mereka dikuras dalam berfikir.
“Res, hari ini pelajaran pak Deden masih kosong nggak ya?” tanya Dira memulai pembicaraan. Akupun hanya mengendikkan bahu.
“Nggak tau tuh, kemarin si bilangnya sampai minggu depan.”
“Tapi kemarin pak Deden masuk kelasku loh.” sahut Karin, dia memang berada dikelas yang berbeda.
“Wah kalo hari ini pak Deden masuk bisa mati aku, tugas minggu lalu saja belum selesai sama sekali.” ujar Dira dengan panik.
“Salahmu sendiri terlalu santai.” aku menyahut dengan santai sebelum menyeruput es teh yang tinggal setengah.
Ditengah-tengah obrolan kami, HP Karin bergetar menandakan sebuah panggilan masuk. Raut wajah Karin berubah beberapa detik setelah benda pipih itu menempel di telinganya. Entah apa yang dikatakan orang di seberang sana. Dengan raut wajah khawatir Karin beranjak dari duduknya dan segera berpamit padaku dan Dira.
“Aku ke kelas dulu ya, ada hal penting.” ujar Karin sambil mengelap tangannya dengan tisu.
“Ada apa?” tanyaku menyelidik.
“Makanmu belum habis loh rin.” sambung Dira sambil menunjuk mie ayam Karin yang baru habis setengahnya.
“Ngga apa lah, ini aku ada urusan penting jadi duluan ya.” Karin pun berlari meninggalkan meja kami dan menghilang di persimpangan koridor kantin. Aku rasa ada aura yang berbeda dari Karin. Pandangannya sempat kosong saat berbicara tadi, dan raut muka yang terkejut masih sangat jelas kulihat. Biar aku duga, dia memiliki masalah yang serius.
Lukisan oranye tampak begitu indah di langit barat. Awan-awan putih di sana nampak bersinar kemudian menyeruakkan keceriaan bagi setiap orang. Kini langkahku membawa ragaku untuk pulang. Meski hanya sekedar merebahkan tubuhku di atas kapuk yang empuk. Kini senja sudah berlalu, disusulkan malam yang mengisi kekosonganku.
Aku melirik ponselku yang tergeletak di meja belajar. Ada notifikasi pesan masuk dari Dira.
Dira
“Resa, gawat res…”
“Karin masuk rumah sakit, katanya dia melakukan percobaan bunuh diri.”
Aresa
“Jangan bercanda Ra, mana mungkin Karin kaya gitu?”
Dira
“Udah Res, cepetan ke sini. Ini langsung aku share lokasinya”
Aresa
“Oke”
Aku bergegas menuju rumah sakit dimana Karin dirawat. Aku masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan Karin. Dengan seperti ini terbukti bahwa dia memiliki masalah yang serius.
Sesampainya di sana aku secepatnya mencari ruang rawat Karin. Lima menit kemudian aku sudah berada di depan ruangan di mana Karin berada. Di sana terlihat orang tua Karin yang sangat cemas sedang duduk di kursi tunggu. Sebelah pintu ada Dira yang sedang bersandar. Aku memanggilnya dengan lirih, namun Dira tetap peka dengan panggilan itu. Ia langsung mendekat dan menceritakan kejadian apa yang membuat Karin sampai seperti ini.
“Jadi dia tidak mau bicara dengan siapapu sekarang?” tanyaku pada Dira dengan setengah bingung.
“Iya, bahkan Bapaknya Karin sudah mencoba, tapi tetap saja Karin bungkam. Dia malah sempat menangis tadi.” jelas Dira.
“Kamu sudah coba bicara dengan dia?”
“Sudah, tapi tetap sama. Dia ngga bicara apapun.” ujar Dira dengan lesu.
“Baiklah biar aku yang bicara dengannya kali ini. Setidaknya dia mau mendengarkan kata-kataku.”
Aku melangkah mendekati pintu ruang rawat kemudian membukanya dengan perlahan. Karin terlihat tenang, duduk bersandar dengan matanya menatap keluar jendela. Aku melangkah pelan, mendekat dan menatap dirinya yang terlihat begitu sayu.
Sekilas ku lihat pergelangan tangannya yang diperban, bekas sayatan yang menjadi penyebab ia harus dirawat.
“Rin…” aku memanggilnya pelan kemudian memegang pundaknya dengan lembut. Dia sama sekali tidak berkutik, aku menghela nafas pelan.
“Rin lihat aku!” aku menghadapkan wajah Karin agar menatapku. Matanya terlihat sendu, ada banyak beban yang ia tanggung sendirian. Menit berikutnya ia menangis, mengalirkan hujan yang sudah ia tampung sejak lama. Aku memeluknya dan menenangkan hatinya, kata teman-teman yang lain aku pandai melakukannya. kemudian membisikkan kalimat lembut ke telinganya.
“Karin, semua bukan salahmu. Kamu sudah berusaha dan semua itu bukan salahmu.” kataku dengan lembut.
“Harusnya aku tidak meninggalkannya pagi itu Res, saat ibu sedang benar-benar sakit. Aku menyesal, kamu tau rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengan ibuku.
Kemudian saat bertemu waktuku hanya sebentar. Apakah Tuhan adil padaku Res?” Karin berujar pelan dalam tangisannya.
“Aku tau, tapi bukan berarti kamu harus melakukan hal gila ini Rin.” aku sedikit mengguncang tubuhnya.
“Iya, aku gila Res! Aku memang sudah gila.” teriak Karin dengan suara serak.
“Dengar Rin, kali ini dengarkan aku.” aku menatap matanya yang sembab kemudian melanjutkan perkataanku.
“Kamu pikir dengan cara seperti ini ibumu akan suka? Ibumu akan bangga? Ingat Rin perjuangan ayahmu selama 10 tahun terakhir. Dia sudah berjuang untuk membesarkanmu, dia rela melakukan apapun untukmu. Dia menyayangimu lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri, dia mampu bertahan dalam perih dan sakit yang kian menggerogoti hidupnya. Kamu tau? Kamu sadar? Itu semua untuk siapa? Itu semua untuk dirimu. Kamu mau membuat ayahmu kecewa dengan keinginan gilamu ini? Coba pikirkan bagaimana dia bertahan dan mampu merawatmu tanpa seorang wanita disampingnya. Kamu pernah berfikir tentang itu?”
Aku berbicara dengan satu tarikan nafas, menjelaskan apa yang memang harus dijelaskan. Karin harus tau dan sadar bahwa dirinya sangat beruntung dibanding orang diluar sana. Aku masih menatap wajah Karin, dia menangis kembali. Namun tangisan ini memiliki makna penyesalan atas perbuatannya. Aku memeluknya dengan lembut, membuat dirinya tenang dalam dekapanku. Dia pernah bilang aku seperti seorang kakak baginya dan mau menjadi kotak curhat yang mampu menampung seluruh keluh kesahnya.
“Maafkan aku Res,” bisik Karin dengan masih dalam tangisan.
“Aku tidak menolak maafmu Rin.” aku tersenyum padanya, menyalurkan energi positif yang kata mereka aku memilikinya. Bisa dibilang itu memang berhasil aku lakukan dan aku tidak keberatan dengan hal itu. Aku bersyukur semuanya kembali normal dan menyisahkan pembelajaran penting bagi diriku sendiri untuk lebih sadar akan nikmat tuhan.
Waktu sudah menunjukan pukuk dini hari, aku baru saja diantar pulang oleh Dira dan saudaranya. Kedatanganku langsung disambut pertanyaan mama tentang keadaan Karin dan aku hanya menjawab dia baik-baik saja. Hari ini tubuhku begitu lelah, kuseret langkahku menuju kamar. Kemudian merebahkan tubuhku kembali di atas kapuk lembut yang menenangkan.
Ku pejamkan mataku, membiarkannya larut bersama kesunyian malam. Aku pikir dunia tidak selucu itu untuk dipermainkan sebab yang menggariskan takdir adalah dirimu sendiri. Aku tidak keberatan menjadi kotak curhat bagi orang lain, aku sudah terbiasa. Seberat apapun masalah yang aku miliki, aku tidak akan melarang orang lain menjadikanku kotak curhat. Sebab aku sendiri sudah memiliki kotak curhat yang membuat aku lebih tenang dalam hidupku. Yaitu dia yang diatas maha dari segala maha, raja dari segala raja.
~~***~~
Penulis: Siti Rahayu (Xl MIPA 2)
Editor: Mufid Rizal S.
*Cerpen berjudul “Kotak Curhat” karya Siti Rahayu dinobatkan sebagai juara 2 Lomba Cipta Cerpen dalam rangka Bulan Bahasa SMA N 1 Bobotsari 2019