Cerpen: Aku Bersimpuh Atas Kuasa-Mu

Kupejamkan mataku pelan tapi pasti, suhu udara yang berkisar 20 derajat Celsius di ruang ber AC semakin mendekapku dengan nyaman. Entah berapa lama aku tertidur, dan akupun tak peduli dengan semua itu, hanya rasa nyaman yang kurasakan dalam gendongan ibuku. Akupun tak tahu untuk apa aku berada di ruang kecil yang penuh dengan orang orang beruban bergantian mendapatkan bidikan kamera, tak terkecuali aku.

Labbaik Allahumma Labbaik

Labbaika laa syarika laka labbaik

Innal hamda wa  ni’mata laka wal mul

Laa syarika lak”

“Aku datang memenuhi panggilanMu

Aku datang memenuhi perintahMu, Ya Allah,

Sesungguhnya segala puji dan nikmat itu adalah milikMu

Dan kerajaan (kekuasaan) itu, adalah milikMu

Tidak ada sekutu bagiMu”

Itulah senandung talbiyah mereka yang kudengar saat aku dibangunkan ibuku untuk merapikan baju dan berfoto, peristiwa itu masih terasa segar dalam hayalanku, mimpiku atau alam bawah sadarku, oh…tidak! aku yakin aku tidak mimpi, aku ingat, aku menangis minta susu sama koko krunch makanan kesayanganku, untuk itu ibu selalu sedia kemana saja kami pergi. Namun aku tak tahu arti semua itu, yang kutahu, hari itu sepulang sekolah aku tak ikut mobil jemputan sekolah, tetapi aku dijemput oleh ibu dan omku

Pagi ini kami ijin untuk berkumpul dengan orang orang beruban yang dulu meninabobokan aku dengan senandung talbiyahnya, inilah jawaban dari ketidaktahuanku saat itu. Jujur aku tidak kenal satu persatu atau dapat dikatakan tak kenal siapapun karena mereka semua adalah generasi ibuku, ya kami berkumpul karena punya tujuan yang sama memenuhi undangan dari kantor kemenag, aku cangggung, terharu tapi bersyukur, bersama dengan orang orang yang ikhlas menginfakkan hartanya untuk berjihad di jalan Alloh, beribadah mengunjungi Baituloh semata mata karena ingin bersimpuh di bawah kuasaMu ya Alloh.

“Bundaku, Subhanalalloh inikah putra kesayangan yang dulu masih di gendong, tak terasa ya bunda, sudah belasan tahun sejak kita dulu mendaftar dan foto bersama, ganteng sekali, wah bisa viral ini, peserta termuda mudah-mudahan kita bisa memenuhi panggilan ke Baituloh bersama di tahun depan,” teman ibuku terus saja nyerocos bak kran air yang lama nggak di buka tiba-tiba jebol.

“Aamin”! ibuku hanya menjawab singkat takut dikira riya, dan akupun hanya bengong dan tersipu malu, karena jadi pusat perhatian teman teman ibuku.

“Mengapa ya pak, dulu kita tidak kepikiran daftarkan anak kita sekalian?”, lanjut teman ibuku setengah berbisik kepada suaminya.

“Itulah mengapa orang menyebut ibadah haji adalah panggilan haji, mungkin anak kita belum mendapatkan panggilan” tukas suaminya memandang istrinya yang terlihat ada penyesaan di wajahnya.

“Saat itu aku berpikir, gampang nanti kalau sudah mendekati usia senja seperti kita, tak terbersit sedikitpun adanya daftar tunggu yang sampai likuran tahun, bagaimana tidak likuran, karena daftar tunggunya mencapai 24 tahun lebih, kalau anak kita sekarang 18 tahun dan baru ndaftar sekarang, berarti usia 42 tahun baru bisa beribadah mengunjungi Baituloh, kita mungkin sudah tak ada lagi di dunia, bukankah begitu pak?.

“Yaa sudahlah pelajaran berharga buat kita, nanti kita sikapi setelah kita selesai menunaikan ibadah haji, serahkan saja urusan ini pada Alloh subhanahu wata’ala, bersyukurlah kita juga diberi kesempatan, mudah-mudahan bisa melaksanakan dengan maksimal, percayalah Alloh akan mengganti biaya yang sudah kami keluarkan. Berarti kita masih bisa mendaftarkan anak kita, Alloh sudah atur semuanya”. Jawab sang suami sambil melirik ke arahku.

“Bukankah begitu ya dik?” Sang bapak minta dukungan dariku

“Insyaalloh, bapak, ibu, berdoa saja” Kujawab singkat takut dikira menggurui,

Aku tetap sadar diri bahwa aku yang muda pasti harus bisa menyenangkan hati yang tua tua, lebih tepatnya menghargai mereka, aku berusaha ada buat mereka agar kehadiranku tetap bermakna. Aku paling kecil, tapi jangan sampai dianggap seperti anak kecil, aku harus semangat, harus, tidak semua orang bisa punya kesempatan seperti ini, belum tentu kesempatan datang dua kali, aku akan berusaha semaksimal mungkin.

“Semangat ya dik, yang muda masih enerjic” kata sang bapak semakin akrab.

“Insyaalloh, mohon bimbingan dan motivasinya, terimakasih Bapak”, jawabku

Ya Alloh ternyata, teman teman ibuku atau lebih tepatnya generasi ibu sangat mengenaliku. Aku sebut generasi ibuku karena aku yakin ibuku belum tentu mengenal mereka satu persatu. Namun ibuku sangat familier sehingga cepat akrab dengan siapaun.

“Bapak ibu hadirin yang ada di rungan ini, perlu kami sampaikan bahwa kuota tahun ini sejumlah 580 jama’ah, untuk itu perlu dibentuk koordinator, untuk tiap kecamatan” Tiba – tiba suara dari panitia mengagetkan dan menghentikan keakraban kami lalu serentak mereka menunjuk peserta termuda, untung masih ada omku yang biasanya cuek, mau menjembatani kelengkapan admintrasi calon peserta yang penuh dengan berbagai permasalahan, omku setipe dengan ibuku, tak mau menunda pekerjaan, rapi teliti dan sangat bertanggungjawab. Ibukupun mendukung kalau omku yang jadi koordinator, mesi aku yang harus membantu sana sini tidak mengapa, buat belajar bersosialisasi dan bertanggungjawab.

“Dik, ini daftar dan nomer WhatsApp semua calon peserta, tolong segera masukkan grup, supaya komunikasi lancar, kita harus lebih disiplin dalam urusan ibadah dengan sang Maha Pencipta itu nomor satu, jangan sampai terlambat” “iya om”, jawabku tak banyak tanya. Aku kagum bagaimana bisa mendapatkan nomer Whastapp semua calon peserta yang berjumlah 40 orang lebih.

Lagi lagi kudapatkan pembelajaran yang tidak bisa ku ingkari, akupun hanya bisa mengiyakan, ibuku dan omku selalu memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang berdayaguna dan berhasil guna, tak ada waktu dan kesempatan yang di sia siakan begitu saja, pantaslah kalau Alloh sang maha pencipta begitu menyayanginya. Mereka selalu berdoa mudah-mudahan kehendak Alloh tak bisa terhalangi oleh kebijakan manusia, apapun keputusan Alloh itu yang terbaik.

Kumandang Adzan isya, dari masjid seberang, memaksaku untuk mengiringi langkah ibuku menuju masjid untuk solat berjamaah, begitu ringannya langkah kaki ibu, sehingga aku terpaksa setengah berlari, aku ikuti begitu saja sebagai suatu kebiasaan, sampai akhirnya timbul kesadaranku untuk terbiasa berjamaah ke masjid.” Apabila kamu tahu berapa besarnya pahala shalat isya berjamaah di masjid, akan kudatangi meskipun kita harus merangkak” ibu selalu mengulang hadist tersebut untuk memotivasi diri sendiri selagi masih kuat berjalan.

“Bagaimana Dik, sudah dimasukkan semua nomor WhatsApp para peserta?” kembali om ngecek hasil kerjaku melalui ponsel pintarnya

“Bentar Om, Aku baru pulang dari masjid” Akupun tak berani menunda lagi tugas dari om.

“Ya, pokoknya semua dimasukkan, yang bukan WhatsApp, di telpon, nomor mana yang bisa dihubungi dengan WA dan dapat bergabung di grup ini, karena, segala info nanti lewat grup” lanjut omku seperti memebri kuliah

“Iya om” kujawab dengan agak ragu, takut hasil kerjaku tidak memuaskan.

Sepuluh menit berlalu, semua pekerjaanku selesai semua informasi tersebar, aku yakin, semua persyaratan akan selesai sebelum waktu yang ditargetkan, dan aku merasa kehadiranku yang dianggap termuda, bisa ambil bagian dari kebutuhan mereka, subhanallah, benar adanya, sebaik baik manusia adalah yang bisa bermanfaat untu orang lain, mulai hari ini aku harus punya planning untuk menghadapi era kehidupan yang serba cepat, agar bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Apa yang kami lakukan hari ini, sudah di planning ibuku belasan tahun silam, saat akupun belum bisa berjalan di atas kaki sendiri, saat akupun masih mengandalkam kekuatan tangisku, ibuku tak hiraukan semua itu, ibu sudah memposisikanku sebagai anak yang soleh, yang pada saatnya nanti tinggal menunggu panggilan untuk dapat melaksanakan rukun Islam yang ke lima yaitu menunaikan ibahadah haji ke Baitullah. Dengan biaya yang tidak sedikit, inikah yang ditanamkan ibuku, yang sulit aku ukur dengan apapun, kalau ibu menyebutku malaikat kecilku lantas apa predikat yang layak untuk ibuku.

Allohumaghfirli waliwaalidayya warhamhumaa kama robbayaanii shaghira”

“Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil”

Doa itupun kubiasakan setelah shalat, dilanjutkan membaca al-Quran agar mendapaat syafaat dan kebaikan-kebaikan dari setiap huruf yang aku baca. Tidak lupa juga dengan membaca talbiyahnya, semoga Alloh memeperlancar niat kami tanpa halangan suatu apapun.

Tak Bosan-bosan ku lantunkan kalimat Talbiyah ini, setiap kali dalam kesempatan, dalam kesunyianku, bahkan dalam kesibukanku. Aku yakin ibadah yang satu ini benar-benar panggilan dari Alloh.

“Berapa usiamu dik?” pertanyaan itu selalu kudapati dari para peserta yang mendekatiku. “Hampir 18 tahun” jawabku untuk menghindari pertanyaan yang berlanjut.

“Semangat ya” lagi-lagi aku mendapat motivasi

Insyaalloh,”bagiku ucapan mereka adalah doa agar kami bisa bersama mereka dalam mewujudkan niat suci ini.

Ya Alloh, aku mohon ridhoMu untuk mewujudkan niat suci ibuku yang pada akhirnya menjadi niatku

“Mohon doa restunya Bapak, Ibuk, mohon bimbingannya, aku belum punya bekal apapun untuk menjalani ini semua mohon kebersamaannya dalam menjalani”. Akupun selalu merendah dihadapan generasi ibuku yang selalu akrab. Bagaimanapun orang tua selalu menginginkan penghormatan yang lebih demi kenyamanan. Soal harta tak menjadi masalah bagi mereka tetapi soal pelayanan yang prima dan kenyamanan itu dambaan mereka. Itu yang harus kupahami dan kusikapi sebagai manusia termuda yang berhimpun dengan kebersamaan dan tujuan yang sama.

Semakin hari, aku semakin rindu untuk berhimpun dan beribadat, melakuakn towaf, iktikaf, ruku dan sujud, bersimpuh di rumahMu, Baitullah. Dan memohon ampunan kepadaMu , seraya berdoa untuk kedamaian dan keberkahan ibuku, semoga apa yang sudah dikeluarkan untukku akan Engkau ganti dengan lebih banyak dan barokah. Apabila tidak berikanlah surga untuk ibuku bahkan untuk keluargaku.

 

Penulis: Raffy Ave Nugraha (XI MIPA 5)

Editor: Mufid Rizal S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.