Cerpen: Segara Pati

Kepadamu,
Kerinduan jalan panjang
Yang tak pernah membosankan
Tak berbatas kesabaran

Kerinduan,
Sekuat apa kan bertahan
Meski tiada harapan
Dan digoda kesedihan

Menuju hatimu
Jalan terlelah dan sunyi
Merengkuh hatimu
Kian jauh tak tersentuh
Sampai aku memahami
Kangen ini
Laut tak bertepi

Sekali lagi, Agus Noor membiusku dengan puisinya. Seakan puisi itu diciptakan untukku, entah bagaimana sungguh menggambarkan perasanku saat ini. Kuhela napas panjang untuk menenangkan diri, akhir-akhir ini terasa semakin berat menjalani hari, padahal empat tahun sudah kulewati dengan suasana dan kondisi yang sama.

Kututup layar telepon yang menampilkan puisi itu.
“Sudahlah, jalani saja. Satu tahun lagi, bukan?” gumamku pada diri sendiri.

Hari ini aku berangkat ke kantor lebih pagi. Tidak ada kepentingan yang mendesak, aku hanya merasa kesepian dan ingin mencari kesibukan. Aku ditugaskan di kantor pemerintahan provinsi setelah pengangkatanku sebagai Aparatur Sipil Negara. Terhitung sampai hari ini sudah satu bulan aku bekerja.
Dan sampai hari ini pula, aku merindukan dia.

**
“Dek, kangmas mangkat yo.”
“Pulangnya kapan?”
“La wong urung mangkat kok sudah ditanya pulang.”
“Ojo sue-sue.”
“Njalok doane bae, Dek.”
“Iyo. Pinten taun, Mas?”
“Lima, Dek.”
“Ora balik disit to, Mas? Labas lima taun? Kebangeten.”
“Lo, Dek. Kelalen sing diaturake HAMKA? ‘Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang’ Kemutan ora, Dek?”
“Kemutan, Mas. Yowes adek tunggu lima taun, Mas. InsyaaAllah.”
“Nggih, Dek. Kangmas pamit.”
“Eh sek mas, kapale kangmas namane opo? Ben adek gampang nggolet kabar.”
“Kapal Kargo Tanto Ceria, Dek.”
“Oh nggih, Mas.”
“Wis yo, kangmas mangkat. Jaga diri, Dek.”
“Nggih, Mas.”

Aku dan Mas Imron memang menyukai sastra, baik sastra modern maupun sastra kuno. Setiap percakapan menjadi semakin bermakna saat ada kutipan sastra. Empat tahun setelah percakapan itu aku masih setia manunggu, aku masih mampu menahan rindu. Namun, memasuki tahun terakhir, justru terasa semakin berat, andai saja aku tahu kau di mana, akan aku susul sejauh apapun itu. Kekhawatiran terus menggangguku. Apakah ombaknya tinggi? Apakah gelombangnya besar? Apakah kemudimu patah? Apakah layarmu robek? Kapalmu tak meledak, kan? Hingga pertanyaan yang paling mengerikan. Kau masih hidup, kan?

**
“Dek, tahu kidung rumekso ing wengi?”
“Tahu, tapi mboten apal. Pripun si, Mas?”
“Yaa cuma tanya saja. Sebenarnya mas nggak percaya hal ini, tapi katanya kidung itu bisa menolak balak.”
“Ah kata siapa. Pertolongan hanya dari Allah, Mas.”
“Iya, Adek. Kangmas kan nggak percaya. Tapi kangmas pengin krungu adek nyanyi kidung iku lo, Dek.”
“Saiki?”
“Kalo bisa sekarang kenapa harus nanti?”
“Isin lah, Mas.”
“Yowes, nek adek suatu saat nanti khawatir maring kangmas, nyanyikake kidung iku wae, bukane kangmas prentah adek percaya hal-hal seperti itu, tapi mungkin pas adek nyanyikake nggo kangmas, adek bisa mandan tenang, ora khawatir maning.”
“Nggih, Mas.”

Aku sungguh tak percaya hal-hal seperti itu. Aku takut imanku rusak. Tapi, kali ini, aku ingin mencoba menyanyikan kidung itu untuk Mas Imron.
“Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Niwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirno”

“Ya Allah Ya Robbi, berilah perlindungan untuk Mas Imron.”
Tak terasa air mataku sudah mengalir deras. Cepat-cepat aku menghapusnya karena aku harus menjalankan tugas pendampingan kunjungan Gubernur.

**
“Maharani, ke ruang tunggu yuk.” ajak temanku yang terlihat mulai bosan menunggu Gubernur bertemu rekannya.
“Yaudah ayuk, sambil nonton televisi ya?”
“Haha, oke.”

Liputan 6 siang hari ini. Berita utama.
Kapal Kargo Tanto Ceria terbakar di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Kebakaran diduga akibat korsleting listrik di ruang pandu. Hembusan angin membuat api membesar dan merembet ke ruang lainnya. Delapan ABK terluka, dua lainnya tewas. Informasi identitas korban bisa diperiksa di Pelabuhan Tanjung Perak atau website resmi kami.

“Dewi, berita itu sungguhan?” tanyaku pada temanku, tak ingin percaya pada berita itu.
“Iya lah, Ran.”
“Kapal Kargo Tanto Ceria?” aku berharap aku salah dengar.
“Iya. Kenapa, Ran?”
“Kapalnya Mas Imron.”
“Mas Imronmu? Sungguh?”
“Apa dia selamat, Dew?” air mataku mulai membasahi pipi.
“Berdoa saja, Ran.”

“Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma”

**
Setelah kunjungan berakhir, aku bergegas pergi ke Surabaya. Aku tak ingin memeriksa di internet, itu lebih mendebarkan.

Di pelabuhan hanya ada dua lembar kertas, yaitu daftar penumpang yang selamat dan penumpang yang tewas. Aku sungguh tak mau menemukan nama Mas Imron di daftar kedua. Aku baca daftar pertama dengan cepat. Namun, aku tak menemukan namanya.
“Baca lagi, mungkin terlewat.”
Kubaca lagi, kali ini pelan.
“Tak mungkin. Coba kuulang lagi.”
Kubaca berkali-kali dengan perasaan berkecamuk.
“Mas, seharusnya tak begini.” gumamku sambil menangis.

Aku menyerah, aku jatuh ke lantai front office pelabuhan.
“Haruskah kuperiksa lembar kedua, Mas?” gumamku lagi seakan bertanya pada Mas Imron.
Perlahan tanganku meraih lembar kedua. Hanya ada dua nama di sana.
1. Thaufiq Hermansyah
2. Imron Adi Nugroho

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara

“Mas Imron! Tega kamu, Mas!” teriakku sambil menangis.

Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun

“Mas Imron! Bali Mas! Bali!” teriakku lagi.

Paneluhan tan ana wani
Niwah panggawe ala

“Mas Imron!” suaraku parau, dadaku sesak, pandanganku tak jelas.

Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirno

Mas, aku sudah menunggu hampir lima tahun. Tinggal satu tahun terakhir saja, Mas. Kukira kau kembali. Malah mati begini.

Kidung Rumekso Ing Wengi (Sunan Kalijaga) :

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Niwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirno

Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam
Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit
Terbebas dari segala petaka
Jin dan setanpun tidak mau mendekat
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir
Api menjadi air
Pencuripun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap

Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Sukma

Meski batu dan laut mengering
Pada akhirnya semua selamat
Sebab badanya selamat dikelilingi oleh bidadari
Yang dijaga oleh malaikat
Dan semua Rasul dalam lindungan Allah

-ANISA PUSPITA RINI (XII IPA 3)-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.